Eijkman Imbau Masyarakat Tidak Pilih-pilih Vaksin

Tingginya kasus baru Covid-19 dan angka kematiannya di Indonesia memicu penilaian akan vaksin Sinovac, CoronaVac, yang telah digunakan selama ini. Efektivitas vaksin ini semakin diragukan setelah sejumlah negara di dunia tak merekomendasikan, bahkan tak mengakui, penggunaan vaksin ini.

Menanggapi hal itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, menerangkan, intinya saat ini tidak ada vaksin yang dianggap superior atau yang paling bagus. “Saya cuma mau bilang, semua vaksin itu tidak ada yang sempurna,” ujarnya saat dihubungi pada Minggu, 1 Agustus 2021.

Menurut dia, angka yang diklaim seperti persentasi efikasi atau tingkat khasiat vaksin baik, belum tentu di lapangan memiliki efektivitas yang baik pula. Jadi, Amin menegaskan, bisa saja uji klinis vaksin di laboratorium memiliki efikasi yang bagus, tapi ketika sudah disuntikkan, efektivitasnya tak sebagus efikasinya.

Umumnya, Amin yang adalah Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menambahkan, efektivitas itu di bawah efikasi. “Jadi kalau efikasi diklaim 90 persen misalnya, ya efektivitasnya bisa sekitar 80-70 persen, jadi akan ada penurunan,” tutur Amin.

Dia juga mengimbau kepada seluruh masyarakat, agar tidak memilih-milih vaksin. Alasannya, saat ini masyarakat di dunia sedang berlomba antara kecepatan mutasi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dengan kecepatan untuk mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok.

Menurutnya, dengan mencapai herd immunity diharapkan kesempatan virus untuk menemukan host baru menjadi lebih kecil, termasuk juga kesempatan bermutasi lebih kecil. “Jadi kalau ada kesempatan vaksinasi, ya terima saja, tidak usah pilih-pilih vaksin A, B, atau C,” kata Amin menambahkan.

Sebagai informasi, otoritas pengendalian penyakit di Cina telah melakukan studi bagaimana efektivitas dari vaksin Sinovac. Hasilnya antibodi yang dipicu vaksin itu menurun di bawah ambang batas utama dalam waktu sekitar enam bulan setelah dosis kedua untuk sebagian besar penerima. Atas dasar itu suntikan ketiga dianggap memiliki efek penguat yang baik.

Temuan itu berdasarkan sampel darah orang dewasa sehat berusia antara 18-59 tahun. Di antara peserta yang menerima dua dosis, dua atau empat minggu terpisah, hanya 16,9 persen atau 35,2 persen masih memiliki antibodi penetralisir di atas ambang batas yang dapat dideteksi enam bulan setelah suntikan kedua.

Angka tersebut didasarkan pada data dari dua kohort yang masing-masing melibatkan lebih dari 50 peserta. Sementara penelitian tersebut memberikan dosis ketiga vaksin atau plasebo kepada total 540 peserta.

Para peneliti mengatakan tidak jelas bagaimana penurunan antibodi akan mempengaruhi efektivitas suntikan, karena mereka belum mengetahui secara tepat ambang batas tingkat antibodi untuk vaksin agar dapat mencegah penyakit. Studi penggunaan vaksin Sinovac itu diterbitkan pada 25 Juli 2021, dan belum ditinjau oleh rekan sejawat (peer-review).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *